Rainbow Arch Over Clouds

Senin, 02 Mei 2011

Analisis Antara Kebijakan Pembangunan Indonesia, baik Pembangunan Nasional maupun Pembangunan Sektoral dengan Kebijakan Hutang Luar Negri

Pembangunan merupakan upaya untuk mengubah kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Pembangunan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan seluruh Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki untuk memperoleh tingkat kesejahteraan. Di dalam melaksanakan pembangunan tersebut, baik pembangunan nasional maupun pembagunan sektoral (daerah) adakalanya sebuah negara tidak memiliki modal untuk melakukannya. Maka, di dalam teori pembangunan kemudian disebutkan melalui konsep pembangunan berbasis hutang luar negeri.

Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada sa’at ini. Beberapa referensi yang mengkaji mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab keterbelakangan negara-negara dunia ketiga. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara; memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga; dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD. Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.
Kehidupan ekonomi Negara berkembang selalu terwarnai dengan sebuah permasalahan terhambatnya pembangunan yang ada lantaran kemampuan dari Negara tersebut untuk menghidupi proses pembangunan yang sedang dilakukan memiliki keterbatasan.
Keterbatasan tersebut seringkali membuat Negara perlu untuk memikirkan mekanisme penerimaan yang mampu mengatasi problem tersebut. Dengan sederhana kita bisa melihat bahwa sumber penerimaan Negara adalah melalui pajak terhadap masyarakatnya, namun bila hal ini belum dapat memenuhi tuntutan yang ada maka negara akan mengambil sebuah alternatif pembiayaan, yaitu pembiayaan melalui utang. Utang tersebut dapat berasal dari Swasta, Negara Lain, Lembaga Donor, ataupun dari masyarakat. Konteks utang yang akan diterima pun dapat berupa hibah, pinjaman lunak, pinjaman program, maupun surat berharga. Dunia internasional dikejutkan oleh badai krisis yang menerpa Indonesia, yang selama ini dipandang sebagai negara stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, ternyata begitu ditimpa badai krisis, seluruh bangunan ekonominya runtuh, persatuan nasional rapuh terancam disintegrasi bangsa seperti Yugoslavia dan negara-negara kawasan Balkan.

Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. Praktek monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha-usaha ekonomi kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah hutang luar negeri dengan bantuan luar negeri. Celakanya lagi hutang luar negeri/ bantuan luar negeri dari negara-negara donor, dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tingkat kebocoran ini cukup signifikan, menurut begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mencapai 30% dari total anggaran pembangunan.

Target mengakhiri kemiskinan, seperti diungkapkan oleh Jeffry Sachs dalam bukunya The End of Poverty, merupakan tanggung jawab bersama negara-negara di dunia yang melintasi batas nasionalisme. Kemiskinan yang melanda suatu negara merupakan sebuah penyakit yang sangat sulit dientaskan tanpa adanya pertolongan dari negara lain.
Sejak tahun 2000, semua negara anggota PBB memiliki kesepakatan yang dituangkan dalam Milleneum Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan utamanya adalah pengurangan angka kemiskinan menjadi separuh pada 2015. Kemudian, sebuah pertanyaan besar yang menyoal bagaimana target itu bisa terpenuhi pun mengemuka. Pertanyaan ini memang sudah sewajarnya diungkapkan mengingat kondisi dan kapasitas APBN yang kurang mumpuni.
Konsekuensi berutang terlalu banyak
Sejatinya, utang dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, Pattilo, Pairson dan Ricci pada tahun 2002, menemukan hubungan yang negatif antara utang dengan tingkat pendapatan perkapita. Dari 100 negara yang diteliti, mereka menemukan kontribusi utang terhadap pendapatan perkapita suatu negara adalah negatif untuk rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) yang berada pada kisaran persentase 35-45%.
Lebih lanjut, tingginya level utang tersebut dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi yang dapat memperbaiki kinerja ekspor.
Indonesia sekarang menghadapi debt to gdp ratio sebesar 45%. Dengan berlandaskan penelitian yang dilakukan oleh Pattilo dkk, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan berutang, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa tidak, setiap tahun fiskal 40% PPh dan PPn yang dibebankan ke masyarakat, habis untuk bayar hutang pemerintah. Hal ini menjadi sebuah hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan mesyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan public (public goods). Jadi, alih-alih mensejahterakan negara, dengan menambah utang justru semakin menyengsarakan negara.
Peruntukan utang luar negeri yang tidak jelas
Periode 1974 hingga 1981 sebenarnya adalah periode dimana Indonesia tidak membutuhkan utang luar negeri karena penerimaan negara pada saat itu sudah sangat mumpuni. Besarnya penerimaan negara pada saat itu adalah lebih karena adanya windfall profit dari naiknya harga minyak internasional. Tetapi apa lacur, justru pada periode ini lah Indonesia memanen utang luar negeri, sungguh tak masuk diakal.
Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kira-kira peribahasa yang tepat untuk menceritakan kondisi Indonesia. Kedatangan utang yang tidak tepat itu ditambah lagi dengan mekanisme peruntukan utang yang tidak jelas. Utang luar negeri lebih difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya konsumtif ketimbang investasi. Tidak seperti kegiatan investasi yang menjanjikan tingkat pengembalian (rate of return) yang pasti , kegiatan konsumsi justru tidak memberikan kepastian rate of return. Pada gilirannya kondisi ini menciptakan sebuah kendala akan ketidaksinambungan pembayaran utang (debt unsustainability).
Dengan demikian, dengan utang luar negeri yang besar, Indonesia mengalami resource drain. Ini terjadi karena net welfare effect yang negatif dari utang luar negeri. Kontribusi utang luar negeri yang sedikit terhadap kesejahteraan Indonesia harus dibenturkan dengan kenyataan akan tingginya jumlah cicilan pokok utang dan beban bunga yang harus dibayar setiap tahun fiskal. Angka Rp 91.6 T dalam APBN 2006 sedikit banyak telah menceritakan betapa pahitnya mempunyai utang luar negeri. Bandingkan dengan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang hanya sebesar Rp 17 T! bagaimana Indonesia bisa lepas dari jerat kemiskinan?
Pentingnya meminta pengurangan utang
Pelbagai fakta dan argumentasi diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan alasan yang kuat untuk mendorong pemerintah Indonesia meminta pengurangan utang luar negeri kepada negara-negara kreditor. Pengurangan utang luar negeri tak pelak lagi menjadi jalan keluar utama untuk membiayai aktivitas pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Utang luar negeri memang menjadi polemik yang tiada habis-habisnya. Dunia seakan terbagi menjadi dua kiblat yang besar. Yang satu setuju dengan pelbagai argumentasi yang mengangkasa, sementara yang lain menolak dengan argumentasi dan tentangan yang tak kalah mengesankan. Utang, pada level tertentu memang diperlukan, akan tetapi terlalu banyak berutang justru akan membuat negara menjadi sakit. Hal ini sepertinya sudah menjadi logika yang masuk akal dalam konteks ilmu ekonomi. The law of diminishing return kiranya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan fenomena yang satu ini. Teori ini menjelaskan bagaimana suatu barang akan sangat bermanfaat bagi sang pemakai akan tetapi menjadi penyakit ketika dikonsumsi secara berlebihan.
Memang, pengurangan utang bukan merupakan satu-satunya solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga mempunyai kaitan yang erat dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya, seperti diungkapkan oleh Ragnar Nurske lewat bukunya “The Capital Accumulation In The Less Developed Countries (1953)” tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui (a). peningkatan pendapatan perkepala; (b) penanaman modal. Namun, seperti juga diungkapkan oleh ekonom kenamaan Swedia Gunnar Myrdal, kemiskinan juga merupakan masalah politik. Oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu negara. Karena masalah kemiskinan merupakan permasalah struktural, maka pemecahan masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. Tidak mungkin diselesaikan langsung seketika tanpa suatu perencanaan dan penanganan yang matang. Berangkat dari pernyataan Myrdal tersebut, jelaslah sudah bahwa program pengentasan kemiskinan melalui jalur pertumbuhan ekonomi memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku. John Maynard Keynes bahkan pernah setengah berkelakar dengan menyatakan “How long is the long run? In the long run we are all dead”. Pendapat Keynes itu mungkin sangat kontekstual dengan pembahasan kita sekarang, pertumbuhan ekonomi memang pada akhirnya dapat mengentaskan kemiskinan, tetapi sampai kapan? Mungkin, hingga hari kiamat tiba, permasalahan kemiskinan boleh jadi tidak akan pernah selesai.
Pengurangan utang luar negeri memang masih meninggalkan polemik hingga kini. Akan tetapi, program ini sepertinya merupakan obat yang paling mujarab untuk menuntaskan penyakit bernama kemiskinan. Kemiskinan, tidak dapat diatasi dengan memakai satu obat saja berupa liberalisasi dan deregulasi, bak aspirin yang dipakai untuk mengobati segala penyakit. Kemiskinan, harus langsung diobati dan ditangani langsung pada akarnya yaitu pengalihan sumber daya (resource allocation) dari sumber yang sedianya dialokasikan untuk membayar utang luar negeri (external debt repayment) kepada program pengentasan kemiskinan.
Indonesia sangat layak untuk mendapatkan pengurangan utang luar negeri
Negara-negara yang tergabung dalam G8, pada tahun 2003 melakukan sebuah pertemuan di Evian. Melalui pertemuan ini, G8 lantas mengklasifikasikan pendekatan baru untuk menanggulangi permasalahan utang pada negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries). Pendekatan ini bertujuan untuk menyelesaikan dan memformalkan solusi dari permasalahan sustainabilitas dari negara-negara non-HIPC (Highly Indebted Poor Countries), dan untuk menyediakan sebuah kerangka analisa kondisi utang di masing-masing negara. Pendekatan Evian ini pada dasarnya diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan sustainabilitas utang jangka panjang ketimbang jangka pendek. Jika ketidak mampuan suatu negara untuk membayar utang lebih dikarenakan permasalahan likuiditas, maka Paris Club akan terus melanjutkan pendekatan Houston dan klasik (tidak ada pengurangan stok utang luar negeri). Akan tetapi jika ketidak mampuan membayar utang dikarenakan permasalahan sustainabilitas yang teramat parah, maka mekanisme yang diterapkan bisa sangat ekstrim seperti hair cut dan write off.
Indonesia, seperti telah dijelaskan diatas, memiliki masalah sustainabilitas yang teramat parah. Angka 45,63% debt to GDP ratio sedikit banyak telah bercerita. Oleh karenanya, Indonesia layak dan bahkan sangat layak untuk mendapatkan pengurangan utang.
Penjadwalan pembayaran utang luar negeri yang telah berjalan selama ini, baik disadari atau tidak, telah menciptakan ketidak pastian dan memiliki imbas yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Betapa tidak, penjadwalan yang harus menembus birokrasi yang rumit dan panjang tak pelak telah mengakibatkan banyaknya waktu yang terbuang. Ilmu ekonomi mengenal sebuah konsep yang bernama opportunity cost, yaitu konsep yang menjelaskan sebuah potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat tersitanya waktu untuk melakukan aktivitas yang menguntungkan. Coba bayangkan, berapa besar kerugian yang harus terjadi karena terlalu sering bernegosiasi untuk penjadwalan utang (multiple resecheduling exercices)? Jadi untuk mengeliminir negosiasi yang berlarut-larut, pengurangan utang luar negeri sepertinya merupakan sebuah jalan keluar yang tepat. Dengan demikian, negara tidak perlu secara berkesinambungan melakukan penjadwalan utang luar negeri karena stok nya sudah jauh berkurang dari level yang mematikan.
Pengurangan utang luar negeri memang terus mendapat tentangan hingga kini, hal ini dapat dimaklumi mengingat pengurangan utang ditenggarai merupakan tindakan yang dapat “memanjakan” negara-negara debitor.

sumber :
http://kifbi.wordpress.com/2008/04/03/utang-luar-negeri-dan-tingkat-kemiskinan/